Minggu, 29 Januari 2012

SUKA DUKA KEHIDUPAN

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki
idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih
yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not
the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika
Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan

pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel'';
sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat,
bertepatan dengan tuntasnya Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf
pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar:
Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai
anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin
menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari
satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif
terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya
sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional
oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh
menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu,
tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik
pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif
besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng
menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan
permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian
anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang
adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata
Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang
bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali
ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh
ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia,
pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta.
Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan
saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik
permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan
kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien,
baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya
cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama
suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif
sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah
dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter,
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya
ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si
malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat.
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk
suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini
Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu
persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di
sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya
kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah
saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu
hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias,
tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba
tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat.
Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang
meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali
saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia
menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah
yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

*share ke temen-temen kamu jadikan ini sebuah pelajaran.......
*dari cerita semangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

no rasis no anarkis..